SEJARAH LAHIR dan PERKEMBANGAN
KONSTITUSI di INDONESIA
Sejarah
Lahir Konstitusi
Sebagai Negara yang
berdasarkan hukum, tentu saja Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan
undang-undang dasar 1945. Eksistensi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi
di Indonesia mengalami sejarah yang sangaat panjang hingga akhirnya diterima
sebagai landasan hukum bagi pelaksanaan ketatanegaraan di Indonesia.
Dalam sejarahnya,
Undang-Undang Dasar 1945 dirancing sejak 29 Mei 1945 sampai 16 Juni 1945 oleh
badan penyelidik usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau
dalam bahasa jepang dikenal dengan dokuritsu zyunbi tyoosakai yang
beranggotakan 21 orang, diketuai Ir. Soekarno dan Drs. Moh, Hatta sebagai wakil
ketua dengan 19 orang anggota yang terdiri dari 11 orang wakil dari Jawa, 3
orang dari Sumatra dan masing-masing 1 wakil dari Kalimantan, Maluku, dan Sunda
kecil. Badan tersebut (BPUPKI) ditetapkan berdasarkan maklumat gunseikan nomor
23 bersamaan dengan ulang tahun Tenno Heika pada 29 April 1945 (Malian,
2001:59)
Badan ini kemudian
menetapkan tim khusus yang bertugas menyusun konstitusi bagi Indonesia merdeka
yang kemudian dikenal dengan nama Undang-Undang Dasar 1945 (UUD’45). Para tokoh
perumus itu adalah antara lain Dr. Radjiman Widiodiningrat, Ki Bagus
Hadikoesoemo, Oto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran Soerjohamidjojo,
Soetarjo Kartohamidjojo, Prop. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir, Drs. Yap Tjwan
Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatra), Mr. Abdul Abbas (Sumatra), Dr. Ratulangi,
Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuharhary, Mr. Pudja (Bali), AH.
Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul WACHID hasyim dan Mr. Mohammad Hasan
(Sumatra).
Latar belakang
terbentuknya konstitusi (UUD’45) bermula dari janji Jepang untuk memberikan
kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dikemudian hari. Janji tersebut antara lain
berisi “sejak dari dahulu, sebelum pecahnya peperangan asia timur raya, Dai
Nippon sudah mulai berusaha membebaskan bangsa Indonesia dari kekuasaan
pemerintah hindia belanda. Tentara Dai Nippon serentak menggerakkan angkatan
perangnya, baik di darat, laut, maupun udara, untuk mengakhiri kekuasaan
penjajahan Belanda”.
Sejak saat itu Dai
Nippon Teikoku memandang bangsa Indonesia sebagai saudara muda serta membimbing
bangsa Indonesia dengan giat dan tulus ikhlas di semua bidang, sehingga
diharapkan kelak bangsa Indonesia siap untuk berdiri sendiri sebagai bangsa
Asia Timur Raya. Namun janji hanyalah janji, penjajah tetaplah penjajah yang
selalu ingin lebih lama menindas dan menguras kekayaan bangsa Indonesia.
Setelah Jepang dipukul mundur oleh sekutu, Jepang tak lagi ingat akan janjinya.
Setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu, rakyat Indonesia lebih bebas dan
leluasa untuk berbuat dan tidak bergantung pada Jepang sampai saat kemerdekaan
tiba.
Setelah kemerdekaan
diraih, kebutuhan akan sebuah konstitusi resmi nampaknya tidak bisa
ditawar-tawar lagi, dan segera harus dirumuskan. Sehingga lengkaplah Indonesia
menjadi sebuah Negara yang berdaulat. Pada tanggal 18 Agustus 1945 atau sehari
setelah ikrar kemerdekaan, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
mengadakan sidangnya yang pertama kali dan menghasilkan beberapa keputusan
sebagai berikut:
Menetapkan dan
mengesahkan pembukaan UUD 1945 yang bahannya diambil dari rancangan undang-undang
yang disusun oleh panitia perumus pada tanggal 22 Juni 1945;
Menetapkan dan
mengesahkan UUD 1945 yang bahannya hampir seluruhnya diambil dari RUU yang
disusun oleh panitia perancang UUD tanggal 16 Juni 1945;
Memilih ketua persiapan
kemerdekaan Indonesia Ir. Soekarno sebagai presiden dan wakil ketua Drs.
Muhammad Hatta sebagai wakil presiden;
Pekerjaan presiden
untuk sementara waktu dibantu oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang
kemudian menjadi komite Nasional;
Dengan terpilihnya
presiden dan wakilnya atas dasar Undang-Undang Dasar 1945 itu, maka secara
formal Indonesia sempurna sebagai sebuah Negara, sebab syarat yang lazim
diperlukan oleh setiap Negara telah ada yaitu adanya:
·
Rakyat, yaitu bangsa Indonesia;
·
Wilayah, yaitu tanah air Indonesia yang
terbentang dari sabang hingga ke merauke yang terdiri dari 13.500 buah pulau
besar dan kecil;
·
Kedaulatan yaitu sejak mengucap
proklamasi kemerdekaan Indonesia;
·
Pemerintah yaitu sejak terpilihnya
presiden dan wakilnya sebagai pucuk pimpinan pemerintahan Negara;
Tujuan Negara yaitu
mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan pancasila;
Bentuk Negara yaitu
Negara kesatuan.
Perkembangan
Konstitusi di Indonesia
Dari catatan sejarah
klasik terdapat dua perkataan yang berkaitan erat dengan pengertian kita
sekarang tentang konstitusi, yaitu dalam perkataan Yunani kuno ‘politeia’ dan
perkataan bahasa Latin ‘constitutio’ yang juga berkaitan dengan kata ‘jus’.
Dalam kedua percatan ‘politeia’ dan ‘constitutio’ itulah awal mula gagasan
konstitusionalisme diekspresikan oleh umat manusia beserta hubungan di antara
kedua istilah tersebut dalam sejarah. Jika kedua istilah tersebut dibandingkan,
dapat dikatakan bahwa yang paling tua usianya adalah kata ‘politeia’ yang
berasal dari kebudayaan Yunani.
Pengertian konstitusi
di zaman yunani kuno masih bersifat materiil, dalam arti belum berbentuk
seperti yang dimenegrti zaman modern sekarang ini. Namun perbedaan antara
konstitusi dengan hukum biasa sudah tergambar dalam pembedaan yang dilakukan
oleh aristoteles terhadap pengertian politea dan nomoi. Politea dapat
disepadankan dengan pengertian konstitusi, sedangkan nomoi adalah undang-undang
biasa. Politea mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari nomoi , karena
politea mempunyai kekuasaan membentuk sedang nomoi tidak ada, karena ia hanya
merupakan materi yang harus dibentuk agar tidak berceri-berai.
Konstitusi berasal dari
kata kerja “contituer” (Francis) yang berarti ‘membentuk’, yang dibentuk adalah
negara. Dengan demikian dapat dikatakan membentuk suatu negara, menyusun dan
menyatakan suatu Negara. Dalam bahasa latin kata konstitusi merupakan gabungan
dua kata, yaitu ‘cume’ dan ‘statuere’. Cume adalah sebuah preposisi yang
berarti “bersama dengan”, dan statuere berasal dari kata “sta” yang membentuk
kata kerja ‘stare” yang berarti “berdiri”. Atas dasar itu kata statuere
mempunyai arti “membuat sesuatu agar berdiri atau mendirikan/menetapkan”.
Dengan demikian constitutio (bentuk tunggal) berarti menetapkan sesuatu secara
bersama-sama, dan “constitutiones” (bentuk jamak) berarti segala sesuatu yang
telah ditetapkan.
Dalam kebudayaan Yunani
istilah konstitusi berhubungan erat dengan sebutan ”respublica constituere”
yang melahirkan semboyan “prinsep legibus solutus est, salus publica suprema
lex”, (rajalah yang berhak menentukan struktur organisasi negara, karena dialah
satu-satunya pembuat undang-undang). Konstitusi dalam kepustakaan belanda
dipergunakan istilah “grondwet” (wet= undang-undang, grond = dasar), yaitu
berarti suatu undang-undang yang menjadi dasar (grond) dari segala hukum.
Indonesia menggunakan istilah Grondwet menjadi Undang-Undang Dasar.
Konstitusi sebagai
hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan suatu negara dapat
berupa konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis. Dalam hal konstitusi
terstulis, hampir semua negara di dunia memilikinya yang lajim disebut
undang-undang dasar (UUD) yang pada umumnya mengatur mengenai pembentukan,
pembagian wewenang dan cara bekerja berbagai lembaga kenegaraan serta
perlindungan hak azasi manusia. Negara yang dikategorikan sebagai negara yang
tidak memiliki konstitusi tertulis adalah Inggris dan Kanada. Di kedua negara
ini, aturan dasar terhadap semua lembaga-lembaga kenegaraan dan semua hak azasi
manusia terdapat pada adat kebiasaan dan juga tersebar di berbagai dokumen,
baik dokumen yang relatif baru maupun yang sudah sangat tua seperti Magna
Charta yang berasal dari tahun 1215 yang memuat jaminan hak-hak azasi manusia
rakyat Inggris.Karena ketentuan mengenai kenegaraan itu tersebar dalam berbagai
dokumen atau hanya hidup dalam adat kebiasaan masyarakat itulah maka Inggris
masuk dalam kategori negara yang memiliki konstitusi tidak tertulis.
Adanya negara yang
dikenal sebagai negara konstitusional tetapi tidak memiliki konstitusi
tertulis, nilai-nilai, dan norma-norma yang hidup dalam praktek penyelenggaraan negara juga diakui sebagai
hukum dasar, dan tercakup pula dalam pengertian konstitusi dalam arti yang
luas. Karena itu, Undang-Undang Dasar sebagai konstitusi tertulis beserta
nilai-nilai dan norma hukum dasar tidak tertulis yang hidup sebagai konvensi
ketatanegaraan dalam praktek penyelenggaraan negara sehari-hari, termasuk ke
dalam pengertian konstitusi atau hukum dasar (droit constitusionnel) suatu
Negara].
Dalam perkembangan
sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara, konstitusi menempati posisi yang
sangat penting. Pengertian dan materi muatan konstitusi senantiasa berkembang
seiring dengan perkembangan peradaban manusia dan organisasi kenegaraan. Kajian
tentang konstitusi semakin penting dalam negara-negara modern saat ini yang
pada umumnya menyatakan diri sebagai negara konstitusional, baik demokrasi
konstitusional maupun monarki konstitusional. Dengan meneliti dan mengkaji
konstitusi, dapat diketahui prinsip-prinsip dasar kehidupan bersama dan
penyelenggaraan negara serta struktur organisasi suatu negara tertentu. Bahkan
nilai-nilai konstitusi dapat dikatakan mewakili tingkat peradaban suatu bangsa.
Suatu konstitusi
tertulis, sebagaimana halnya Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), nilai-nilai
dan norma dasar yang hidup dalam masyarakat serta praktek penyelenggaraan
negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah Undang-Undang
Dasar. Karena itu, suasana kebatinan (geistichenhentergrund) yang menjadi latar
belakang filosofis, sosiologis, politis, dan historis perumusan juridis suatu
ketentuan Undang-Undang Dasar perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat
mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal
Undang-Undang Dasar.
Undang-Undang Dasar
tidak dapat dipahami hanya melalui teksnya saja. Untuk sungguh-sungguh
mengerti, kita harus memahami konteks filosois, sosio-historis sosio-politis,
sosio-juridis, dan bahkan sosio-ekonomis yang mempengaruhi perumusannya. Di
samping itu, setiap kurun waktu dalam sejarah memberikan pula kondisi-kondisi
kehidupan yang membentuk dan mempengaruhi kerangka pemikiran (frame of
reference) dan medan pengalaman (ield of experience) dengan muatan kepentingan
yang berbeda, sehingga proses pemahaman terhadap suatu ketentuan Undang-Undang
Dasar dapat terus berkembang dalam praktek di kemudian hari. Karena itu,
penafsiran terhadap Undang-Undang Dasar pada masa lalu, masa kini, dan pada
masa yang akan datang, memerlukan rujukan standar yang dapat
dipertanggungjawabkan dengan sebaik-baiknya, sehingga Undang-Undang Dasar tidak
menjadi alat kekuasaan yang ditentukan secara sepihak oleh pihak manapun juga.
Untuk itulah, menyertai penyusunan dan perumusan naskah Undang-Undang Dasar,
diperlukan pula adanya Pokok-Pokok pemikiran konseptual yang mendasari setiap
perumusan pasal-pasal Undang-Undang Dasar serta keterkaitannya secara langsung
atau tidak langsung terhadap semangat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar .
B. UNDANG-UNDANG DASAR
1945
UUD 1945 pertama kali
disahkan berlaku sebagai konstitusi Negara Indonesia dalam sidang Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sehari
setelah kemerdekaan negara Republik Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno dan
Mohammad Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945. Naskah UUD 1945 ini pertama kali
dipersiapkan oleh satu badan bentukan pemerintahbalatentara Jepang yang diberi
nama “Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai” yang dalam bahasa Indonesia disebut “Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia” (BPUPKI). Pimpinan dan
anggota badan ini dilantik oleh Pemerintah Balatentara Jepang pada tanggal 28
Mei 1945 dalam rangka memenuhi janji Pemerintah Jepang di depan parlemen (Diet)
untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia . Namun, setelah
pembentukannya, badan ini tidak hanya melakukan usaha-usaha persiapan
kemerdekaan sesuai dengan tujuan pembentukannya, tetapi malah mempersiapkan
naskah Undang-Undang Dasar sebagai dasar untuk mendirikan Negara Indonesia
merdeka.
Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ini beranggotakan 62
orang, diketuai oleh K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, serta Itibangase Yosio dan
Raden Panji Suroso, masing-masing sebagai Wakil Ketua[6]. Persidangan badan ini
dibagi dalam dua periode, yaitu masa sidang pertama dari tanggal 29 Mei sampai
dengan 1 Juni 1945, dan masa sidang kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17
Juli 1945. Dalam kedua masa sidang itu, fokus pembicaraan dalam sidang-sidang
BPUPKI langsung tertuju pada upaya mempersiapkan pembentukan sebuah negara
merdeka. Hal ini terlihat selama masa persidangan pertama, pembicaraan tertuju
pada soal ‘philosoische grondslag’, dasar falsafah yang harus dipersiapkan
dalam rangka negara Indonesia merdeka. Pembahasan mengenai hal-hal teknis
tentang bentuk negara dan pemerintahan baru dilakukan dalam masa persidangan
kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan 17 Agustus 1945 .
Dalam masa persidangan
kedua itulah dibentuk Panitia Hukum Dasar dengan anggota terdiri atas 19 orang,
diketuai oleh Ir. Soekarno. Panitia ini membentuk Panitia Kecil yang diketuai
oleh Prof. Dr. Soepomo, dengan anggota yang terdiri atas Wongsonegoro, R.
Soekardjo, A.A. Maramis, Panji Singgih, Haji Agus Salim, dan Sukiman. Pada
tanggal 13 Juli 1945, Panitia Kecil berhasil menyelesaikan tugasnya, dan BPUPKI
menyetujui hasil kerjanya sebagai rancangan Undang-Undang Dasar pada tanggal 16
Agustus 1945. Setelah BPUPKI berhasil menyelesaikan tugasnya, Pemerintah
Balatentara Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
yang beranggotakan 21 orang, termasuk Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta,
masing-masing sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Setelah mendengarkan
laporan hasil kerja BPUPKI yang telah menyelesaikan naskah rancangan
Undang-Undang Dasar, pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, beberapa anggota
masih ingin mengajukan usul-usul perbaikan disana-sini terhadap rancangan yang
telah dihasilkan, tetapi akhirnya dengan aklamasi rancangan UUD itu secara
resmi disahkan menjadi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Namun
demikian, setelah resmi disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945.
UUD 1945 ini tidak
langsung dijadikan referensi dalam setiap pengambilan keputusan kenegaraan dan
pemerintahan. UUD 1945 pada pokoknya benar-benar dijadikan alat saja untuk
sesegera mungkin membentuk negara merdeka yang bernama Republik Indonesia. UUD
1945 memang dimaksudkan sebagai UUD sementara yang menurut istilah Bung Karno
sendiri merupakan ‘revolutie-grondwet’ atau Undang-Undang Dasar Kilat, yang
memang harus diganti dengan yang baru apabila negara merdeka sudah berdiri dan
keadaan sudah memungkinkan. Hal ini dicantumkan pula dengan tegas dalam
ketentuan asli Aturan Tambahan Pasal II UUD 1945 yang berbunyi:
“Dalam enam bulan
sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini bersidang untuk
menetapkan Undang-Undang Dasar”.
Adanya ketentuan Pasal
III Aturan Tambahan ini juga menegaskan bahwa UUD Negara Republik Indonesia
yang bersifat tetap barulah akan ada setelah MPR-RI menetapkannya secara resmi.
Akan tetapi, sampai UUD 1945 diubah pertama kali pada tahun 1999, MPR yang ada
berdasarkan UUD 1945 belum pernah sekalipun menetapkan UUD 1945 sebagai UUD
Negara Republik Indonesia.
C. KONSTITUSI RIS 1949
Setelah Perang Dunia
Kedua berakhir dengan kemenangan di pihak Tentara Sekutu dan kekalahan di pihak
Jepang, maka kepergian Pemerintah Balatentara Jepang dari tanah air Indonesia
dimanfaatkan oleh Pemerintah Belanda untuk kembali menjajah Indonesia. Namun,
usaha Pemerintah Belanda untuk kembali menanamkan pengaruhnya tidak mudah
karena mendapat perlawanan yang sengit dari para pejuang kemerdekaan Indonesia.
Karena itu, Pemerintah Belanda menerapkan politik adu domba dengan cara
mendirikan dan mensponsori berdirinya beberapa negara kecil di berbagai wilayah
nusantara, seperti Negara Sumatera, Negara Indonesia Timur, Negara Pasundan,
Negara Jawa Timur, dan sebagainya. Dengan kekuasaan negara-negara yang
terpecah-pecah itu diharapkan pengaruh kekuasaan Republik Indonesia di bawah
kendali pemerintah hasil perjuangan kemerdekaan dapat dieliminir oleh
Pemerintah Belanda.
Sejalan dengan hal itu,
Tentara Belanda melakukan Agresi I pada tahun 1947 dan Agresi II pada tahun1948
untuk maksud kembali menjajah Indonesia. Dalam keadaan terdesak, maka atas
pengaruh Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai dengan
tanggal 2 November 1949 diadakan Konperensi Meja Bundar (Round Table
Conference) di Den Haag. Konperensi ini dihadiri oleh wakil-wakil dari Republik
Indonesia dan ‘Bijeenkomst voor Federal Overleg’ (B.F.O.) serta wakil Nederland
dan Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia.
Konperensi Meja Bundar
tersebut berhasil menyepakati tiga hal, yaitu:
1. Mendirikan Negara
Republik Indonesia Serikat.
2. Penyerahan
kedaulatan kepada RIS yang berisi 3 hal, yaitu (a) piagam penyerahan kedaulatan
dari Kerajaan Belanda lepada Pemerintah RIS; (b) status uni; dan (c)
persetujuan perpindahan.
3. Mendirikan uni antara
Republik Indonesia Serikat dengan Kerajaan Belanda
Naskah konstitusi
Republik Indonesia Serikat disusun bersama oleh delegasi Republik Indonesia dan
delegasi BFO ke Konperensi Meja Bundar itu. Dalam delegasi Republik Indonesia
yang dipimpin oleh Mr. Mohammad Roem, terdapat Prof. Dr. Soepomo yang terlibat
dalam mempersiapkan naskah Undang-Undang Dasar tersebut. Rancangan UUD itu
disepakati bersama oleh kedua belah pihak untuk diberlakukan sebagai
Undang-Undang Dasar RIS. Naskah Undang- Undang Dasar yang kemudian dikenal
dengan sebutan Konstitusi RIS itu disampaikan kepada Komite Nasional Pusat
sebagai lembaga perwakilan rakyat di Republik Indonesia dan kemudian resma
mendapat persetujuan Komite Nasional Pusat tersebut pada tanggal 14 Desember
1949. Selanjutnya, Konstitusi RIS dinyatakan berlaku mulai tanggal 27 Desember
1949.
Dengan berdirinya
negara Republik Indonesia Serikat berdasarkan Konstitusi RIS Tahun 1949 itu,
wilayah Republik Indonesia sendiri masih tetap ada di samping negara federal
Republik Indonesia Serikat. Karena, sesuai ketentuan Pasal 2 Konstitusi RIS,
Republik Indonesia diakui sebagai salah satu negara bagian dalam wilayah
Republik Indonesia Serikat, yaitu mencakup wilayah yang disebut dalam
persetujuan Renville. Dalam wilayah federal, berlaku Konstitusi RIS 1949,
tetapi dalam wilayah Republik Indonesia sebagai salah satu negara bagian tetap
berlaku UUD 1945. Dengan demikian, berlakunya UUD 1945 dalam sejarah awal
ketatanegaraan Indonesia, baru berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa berlakunya
Konstitusi RIS, yaitu tanggal 27 Agustus 1950, ketika UUDS 1950 resmi
diberlakukan.
Konstitusi RIS yang
disusun dalam rangka Konperensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun 1949 itu,
pada pokoknya juga dimaksudkan sebagai UUD yang bersifat sementara. Disadari
bahwa lembaga yang membuat dan menetapkan UUD itu tidaklah representatif.
Karena itu, dalam Pasal 186 Konstitusi RIS ini ditegaskan ketentuan bahwa
Konstituante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Dari ketentuan Pasal 186 ini, jelas
sekali artinya bahwa Konstitusi RIS 1949 yang ditetapkan di Den Haag itu
hanyalah bersifat sementara saja.
D. UNDANG-UNDANG DASAR
SEMENTARA 1950
Bentuk negara federal
nampaknya memang mengandung banyak sekali nuansa politis, berkenaan dengan
kepentingan penjajahan Belanda. Karena itu, meskipun gagasan bentuk negara
federal mungkin saja memiliki relevansi sosiologis yang cukup kuat untuk
diterapkan di Indonesia, tetapi karena terkait dengan kepentingan penjajahan
Belanda itu maka ide feodalisme menjadi tidak populer. Apalagi, sebagai negara
yang baru terbentuk, pemerintahan Indonesia memang membutuhkan tahap-tahap
konsolidasi kekuasaan yang efektif sedemikian rupa sehingga bentuk negara
kesatuan dinilai jauh lebih cocok untuk diterapkan daripada bentuk negara
federal.
Karena itu, bentuk
negara federal RIS ini tidak bertahan lama. Dalam rangka konsolidasi kekuasaan
itu, mula-mula tiga wilayah negara bagian, yaitu Negara Republilk Indonesia,
Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur menggabungkan diri menjadi
satu wilayah Republik Indonesia. Sejak itu wibawa Pemerintah Republik Indonesia
Serikat menjadi berkurang, sehingga akhirnya dicapailah kata sepakat antara
Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia untuk
kembali bersatu mendirikan negara kesatuan Republik Indonesia. Kesepakatan itu
dituangkan dalam satu naskah persetujuan bersama pada tanggal 19 Mei 1950, yang
pada intinya menyepakati dibentuknya kembali NKRI sebagai kelanjutan dari
negara kesatuan yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Dalam rangka persiapan
ke arah itu, maka untuk keperluan menyiapkan satu naskah Undang-Undang Dasar,
dibentuklah statu Panitia bersama yang akan menyusun rancangannya. Setelah selesai,
rancangan naskah Undang-Undang Dasar itu kemudian disahkan oleh Badan Pekerja
Komite Nasional Pusat pada tanggal 12 Agustus 1950, dan oleh Dewan Perwakilan
Rakyat dan Senat Republik Indonesia Serikat pada tanggal 14 Agustus 1950.
Selanjutnya, naskah UUD baru ini diberlakukan secara resmi mulai tanggal 17
Agustus, 1950, yaitu dengan ditetapkannya UU No.7 Tahun 1950. UUDS 1950 ini
bersifat mengganti sehingga isinya tidak hanyamencerminkan perubahan terhadap
Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, tetapi menggantikan naskah
Konstitusi RIS itu dengan naskah baru sama sekali dengan nama Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950.
Seperti halnya
Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950 ini juga bersifat sementara. Hal ini terlihat
jelas dalam rumusan Pasal 134 yang mengharuskan Konstituante bersama-sama
dengan Pemerintah segera menyusun Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang
akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 itu. Akan tetapi,
berbeda dari Konstitusi RIS yang tidak sempat membentuk Konstituante
sebagaimana diamanatkan di dalamnya, amanat UUDS 1950 telah dilaksanakan
sedemikian rupa, sehingga pemilihan umum berhasil diselenggarakan pada bulan
Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan Umum ini diadakan
berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953. Undang-Undang ini berisi dua pasal.
Pertama berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950; Kedua
berisi ketentuan mengenai tanggal mulai berlakunya Undang-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 itu menggantikan Konstitusi RIS, yaitu tanggal 17 Agustus
1950. Atas dasar UU inilah diadakan Pemilu tahun 1955, yang menghasilkan
terbentuknya Konstituante yang diresmikan di kota Bandung pada tanggal 10
November 1956.
Majelis Konstituante
ini tidak atau belum sampai berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menyusun
Undang-Undang Dasar baru ketika Presiden Soekarno berkesimpulan bahwa
Konstituante telah gagal, dan atas dasar itu ia mengeluarkan Dekrit tanggal 5
Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik
Indonesia selanjutnya. Menurut Adnan Buyung Nasution dalam disertasi yang
dipertahankannya di negeri Belanda, Konstituante ketika itu sedang reses, dan
karena itu tidak dapat dikatakan gagal sehingga dijadikan alasan oleh Presiden
untuk mengeluarkan dekrit. Namun demikian, nyatanya sejarah ketatanegaraan
Indonesia telah berlangsung sedemikian rupa, sehingga Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959 itu telah menjadi kenyataan sejarah dan kekuatannya telah
memberlakukan kembali UUD 1945 sebagai UUD negara Republik Indonesia sejak
tanggal 5 Juli 1959 sampai dengan sekarang.
Memang kemudian timbul
kontroversi yang luas berkenaan dengan status hukum berlakunya Dekrit Presiden
yang dituangkan dalam bentuk Keputusan Presiden itu sebagai tindakan hukum yang
sah untuk memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945. Profesor Djoko
Soetono memberikan pembenaran dengan mengaitkan dasar hukum Dekrit Presiden
yang diberi baju hukum dalam bentuk Keputusan Presiden itu dengan prinsip
‘staatsnoodrecht’. Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim[8], prinsip
‘staatsnoodrecht’ itu pada pokoknya sama dengan pendapat yang dijadikan
landasan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara masa Orde Baru untuk
menetapkan Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966. Adanya istilah Orde Baru itu saja menggambarkan
pendirian MPRS bahwa masa antara tahun 1959 sampai tahun 1965 adalah masa Orde
Lama yang dinilai tidak mencerminkan pelaksanaan UUD 1945 secara murni dan
konsekuen. Oleh karena itu, MPRS mengeluarkan TAP No.XX/MPRS/1966 tersebut
dengan asumsi bahwa perubahan drastis perlu dilakukan karena adanya prinsip
yang sama, yaitu keadaan darurat (staatsnoodrecht).
Terlepas dari
kontroversi itu, yang jelas, sejak Dekrit 5 Juli 1959 sampai sekarang, UUD 1945
terus berlaku dan diberlakukan sebagai hukum dasar. Sifatnya masih tetap
sebagai UUD sementara. Akan tetapi, karena konsolidasi kekuasaan yang makin
lama makin terpusat di masa Orde Baru, dan siklus kekuasaan mengalami stagnasi
yang statis karena pucuk pimpinan pemerintahan tidak mengalami pergantian selama
32 tahun, akibatnya UUD 1945 mengalami proses sakralisasi yang irrasional
selama kurun masa Orde Baru itu. UUD 1945 tidak diizinkan bersentuhan dengan
ide perubahan sama sekali. Padahal, UUD 1945 itu jelas merupakan UUD yang masih
bersifat sementara dan belum pernah dipergunakan atau diterapkan dengan
sungguh-sungguh. Satu-satunya kesempatan untuk menerapkan UUD 1945 itu secara
relatif lebih murni dan konsekuen hanyalah di masa Orde baru selama 32 tahun.
Itupun berakibat terjadinya stagnasi atas dinamika kekuasaan. Siklus kekuasaan
berhenti, menyebabkan Presiden Soeharto seakan terpenjara dalam kekuasaan yang
dimilikinya, makin lama makin mempribadi secara tidak rasional. Itulah akibat
dari diterapkannya UUD 1945 secara murni dan konsekuen.
E. PERUBAHAN
UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Perubahan UUD 1945
merupakan salah satu tuntutan yang paling mendasar dari gerakan reformasi yang
berujung pada runtuhnya kekuasaan Orde Baru pada tahun 1998. Hal ini
menunjukkan bahwa masyarakat tidak lagi melihat faktor penyebab otoritarian
Orde Baru hanya pada manusia sebagai pelakunya, tetapi karena kelemahan sistem
hukum dan ketatanegaraan. Kelemahan dan ketidaksempurnaan konstitusi sebagai
hasil karya manusia adalah suatu hal yang pasti. Kelemahan dan
ketidaksempurnaan UUD 1945 bahkan telah dinyatakan oleh Soekarno pada rapat
pertama PPKI tanggal 18 Agustus 1945 .
Gagasan perubahan UUD
1945 menemukan momentumnya di era reformasi. Pada awal masa reformasi, Presiden
membentuk Tim Nasional Reformasi Menuju Masyarakat Madani yang didalamnya
terdapat Kelompok Reformasi Hukum dan Perundang-Undangan. Kelompok tersebut
menghasilkan pokok-pokok usulan amandemen UUD 1945 yang perlu dilakukan
mengingat kelemahan-kelemahan dan kekosongan dalam UUD 1945. Gagasan perubahan
UUD 1945 menjadi kenyataan dengan dilakukannya perubahan UUD 1945 oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Pada Sidang Tahunan MPR 1999, seluruh fraksi di
MPR membuat kesepakatan tentang arah perubahan UUD 1945 yaitu:
1. sepakat untuk tidak mengubah Pembukaan
UUD 1945;
2. sepakat untuk mempertahankan bentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
3. sepakat untuk
mempertahankan sistem presidensiil (dalam pengertian sekaligus menyempurnakan
agar betul-betul memenuhi ciri-ciri umum sistem presidensiil);
4. sepakat untuk memindahkan hal-hal
normatif yang ada dalam Penjelasan UUD 1945 ke dalam pasal-pasal UUD 1945; dan
5. sepakat untuk menempuh cara adendum dalam
melakukan amandemen terhadap UUD 1945.
Perubahan UUD 1945
kemudian dilakukan secara bertahap dan menjadi salah satu agenda Sidang Tahunan
MPR dari tahun 1999 hingga perubahan
keempat pada Sidang Tahunan MPR tahun 2002 bersamaan dengan kesepakatan
dibentuknya Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara
komprehensif tentang perubahan UUD 1945 berdasarkan Ketetapan MPR No.
I/MPR/2002 tentang Pembentukan Komisi Konstitusi.
Perubahan Pertama pada
tahun 1999, Perubahan Kedua pada tahun 2000, Perubahan Ketiga pada tahun 2001,
dan Perubahan Keempat pada tahun 2002. Dalam empat kali perubahan itu, materi
UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan besar-besaran dan dengan perubahan
materi yang dapat dikatakan sangat mendasar. Secara substantif, perubahan yang
telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadikan konstitusi proklamasi itu menjadi
konstitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai
Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Pertama UUD
1945 disahkan dalam Sidang Umum MPR-RI yang diselenggarakan antara tanggal 12
sampai dengan tanggal 19 Oktober 1999. Pengesahan naskah Perubahan Pertama itu
tepatnya dilakukan pada tanggal 19 Oktober 1999 yang dapat disebut sebagai
tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan romantisme
di sebagian kalangan masyarakat yang cenderung menyakralkan atau menjadikan UUD
1945 bagaikan sesuatu yang suci dan tidak boleh disentuh oleh ide perubahan
sama sekali. Perubahan Pertama ini mencakup perubahan atas 9 pasal UUD 1945,
yaitu atas Pasal 5 ayat (1), Pasal 7, Pasal 9 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 13
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4), dan Pasal 21.
Kesembilan pasal yang mengalami perubahan atau penambahan tersebut seluruhnya
berisi 16 ayat atau dapat disebut ekuivalen dengan 16 butir ketentuan dasar.
Gelombang perubahan
atas naskah UUD 1945 terus berlanjut, sehingga dalam Sidang Tahunan pada tahun
2000, MPR-RI sekali lagi menetapkan Perubahan Kedua yaitu pada tanggal 18
Agustus 2000. Cakupan materi yang diubah pada naskah Perubahan Kedua ini lebih
luas dan lebih banyak lagi, yaitu mencakup 27 pasal yang tersebar dalam 7 bab,
yaitu Bab VI tentang Pemerintah Daerah, Bab VII tentang Dewan Perwakilan
Rakyat, Bab IXA tentang Wilayah Negara, Bab X tentang Warga Negara dan
Penduduk, Bab XA tentang Hak Asasi Manusia, Bab XII tentang Pertahanan dan
Keamanan Negara, dan Bab XV tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara serta
Lagu Kebangsaan. Jika ke-27 pasal tersebut dirinci jumlah ayat atau butir
ketentuan yang diaturnya, maka isinya mencakup 59 butir ketentuan yang
mengalami perubahan atau bertambah dengan rumusan ketentuan baru sama sekali.
Setelah itu, agenda
perubahan dilanjutkan lagi dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2001 yang berhasil
menetapkan naskah Perubahan Ketiga UUD 1945 pada tanggal 9 November 2001.
Bab-bab UUD 1945 yang mengalami perubahan dalam naskah Perubahan Ketiga ini
adalah Bab I tentang Bentuk dan Kedaulatan, Bab II tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara, Bab V
tentang Kementerian Negara, Bab VIIA tentang Dewan Perwakilan Daerah, Bab VIIB
tentang Pemilihan Umum, dan Bab VIIIA tentang Badan Pemeriksa Keuangan.
Seluruhnya terdiri atas 7 bab, 23 pasal, dan 68 butir ketentuan atau ayat. Dari
segi jumlahnya dapat dikatakan naskah Perubahan Ketiga ini memang paling luas
cakupan materinya. Tapi di samping itu, substansi yang diaturnya juga sebagian
besar sangat mendasar. Materi yang tergolong sukar mendapat kesepakatan
cenderung ditunda pembahasannya dalam sidang-sidang terdahulu. Karena itu, selain
secara kuantitatif materi Perubahan Ketiga ini lebih banyak muatannya, juga
dari segi isinya, secara kualitatif materi Perubahan Ketiga ini dapat dikatakan
Sangay mendasar pula.
Perubahan yang terakhir
dalam rangkaian gelombang reformasi nasional sejak tahun 1998 sampai tahun
2002, adalah perubahan yang ditetapkan dalam Sidang Tahunan MPR-RI tahun 2002.
Pengesahan naskah Perubahan Keempat ditetapkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Dalam naskah Perubahan Keempat ini, ditetapkan bahwa (a) Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagaimana telah diubah dengan perubahan
pertama, kedua, ketiga, dan perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959
serta dikukuhkan secara aklamasi pada tanggal 22 Juli 1959 oleh Dewan
Perwakilan Rakyat; (b) Penambahan bagian akhir pada Perubahan Kedua
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 dengan kalimat
“Perubahan tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia ke-9 tanggal 18 Agustus 2000 Sidang Tahunan Majelis
permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan”; (c) pengubahan penomoran Pasal 3 ayat (3) dan ayat (4) Perubahan
Ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 3
ayat (2) dan (3); Pasal 25E Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menjadi Pasal 25A; (d) penghapusan judul Bab IV tentang
Dewan Pertimbangan Agung dan pengubahan substansi Pasal 16 serta penempatannya
ke dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan negara; (e) pengubahan dan/atau
penambahan Pasal 2 ayat (1); Pasal 6A ayat (4); Pasal 8 ayat (3), Pasal 11 ayat
(1); Pasal 16; Pasal 23B; Pasal 23D; Pasal 24 ayat (3); Bab XIII, Pasal 31 ayat
(1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 32 ayat (1) dan ayat
(2); Bab XIV, Pasal 33 ayat (4) dan ayat (5); Pasal 34 ayat (1), ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4); Pasal 37 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat
(5); Aturan Peralihan Pasal I, II, dan III; Aturan Tambahan Pasal I dan II
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Secara keseluruhan
naskah Perubahan Keempat UUD 1945 mencakup 19 pasal, termasuk satu pasal yang
dihapus dari naskah UUD. Ke-19 pasal
tersebut terdiri atas 31 butir ketentuan yang mengalami perubahan, ditambah 1
butir yang dihapuskan dari naskah UUD. Paradigma pemikiran atau pokok-pokok
pikiran yang terkandungdalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah mengalami
empat kali perubahan itu benar-benar berbeda dari pokok pikiran yang terkandung
dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus
1945. Bahkan dalam Pasal II Aturan Tambahan Perubahan Keempat UUD 1945
ditegaskan, “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini,
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas Pembukaan
dan pasal-pasal”. Dengan demikian, jelaslah bahwa sejak tanggal 10 Agustus
2002, status Penjelasan UUD 1945 yang selama ini dijadikan lampiran tak
terpisahkan dari naskah UUD 1945, tidak lagi diakui sebagai bagian dari naskah
UUD. Jikapun isi Penjelasan itu dibandingkan dengan isi UUD 1945 setelah empat
kali berubah, jelas satu sama lain sudah tidak lagi bersesuaian, karena pokok
pikiran yang terkandung di dalam keempat naskah perubahan itu sama sekali
berbeda dari apa yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 tersebut.
Daftar Pustaka ;
·
Jimly Asshidiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme
Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal.1
·
A.G. Pringgodigdo, “Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia”, majalah Hukum dan Masyarakat, Tahun
III No.2, Mei 1958, hal. 3-26.
·
Republik Indonesia, Risalah Sidang Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945,
Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995, hal. xxv.
·
2 komentar:
Thanks min.. Izin copy ya, lumayan buat tugas Kewarganegaraan.. :D
Lalu siapa ketua konstituante nya pada masa itu? Mohon pencerahannya..trmksh
Posting Komentar